Kamis, 24 November 2011

Tentang the end untuk Khanza


Malam  sebelum idul fitri,
Khanza terduduk lesu, berkali-kali mulutnya mendesah lelah. Matanya layu seperti bunga di vas yang selalu lupa ia ganti. Sesekali ia melirik penanda jam di sudut komputernya, waktu begitu cepat berjalan, pikirnya.
Tangannya menggapai gelas susu di sampingnya, seruputan terakhir. Malas untuk pergi ke dapur dan membuat minum atau makanan, padahal perutnya sudah bernyayi-nyayi. Atau paling tidak mengambil makanan kecil untuk menemaninya bergadang sampai pagi.
“belum selesai juga?”, kata mas Faiz tiba-tiba di depan pintu kamar Khanza. Ternyata khanza lupa menutup pintu.
“belum mas, ini juga mau diselesaikan”
“jangan terlalu ngoyo, istirahat dulu, besuk kan masih bisa dilanjutkan”
“nanggung mas, tinggal sedikit kok” kata Khanza sambil nyengir ke arah kakaknya.
“ya sudah, cepat selesaikan, sudah malam” kata mas Faiz sambil berlalu dari kamar Khanza.
Jemari Khanza kembali bergerilya di atas keyboard komputernya. Baris demi baris mulai memenuhi layar microsoft word dengan cepat. Mengalir begitu saja inspirasinya. Entahlah sepertinya ada nyawa lain yang membantunya. Mungkin almarhum W.S Rendra, atau Chairil Anwar (tapi kan mereka bukan cerpenis, hehehe).
Bagian ending,
Tiba-tiba tangannya terhenti. Ia membaca kembali tulisannya. Ia mulai ragu dengan apa yang ia tuliskan. Ia ragu untuk membuat akhir dari ceritanya.
“tidak seperti ini, ini terlalu khayal dan bohong”, ia berkata pada dirinya sendiri.
Tangannya menuju tombol delete pada keyboard. Tertahan. Tak jadi dihapus. Ia lantas menutup pekerjannya. Mematikan komputernya. Tidur dengan pikiran yang masih menggantung di otaknya. Tentang the end.
***
Khanza terbangun ketika mas Faiz membangunkannya untuk segera sholat subuh. Ia hanya mendesah, lalu kembali menarik selimutnya yang melorot sambil menguap.
“sudah mas kira, pasti jadi susah di bangunkan, lain kali jangan tidur terlalu larut” kata mas Faiz lembut sambil mengelus kepala adik tercintanya.
“nanti ayah marah lho, ayo bangun”
“memangnya nanti ayah pulang mas??” kata Khanza , langsung bangun, girang.
Mas Faiz tersenyum, “sudah cepat ambil air wudhu, atau sekalian mandi dulu, nanti sholat id kan?”
Khanza tersenyum riang. Merangkul bahu kakaknya. Begitu bahagia mengira bahwa ayahnya benar-benar akan pulang. Padahal tak demikian, mas Faiz saja tak tahu dimana keberadaan ayah mereka. Sudah terlalu lama menghilang dari hari-hari mereka. Sudah terlalu lama meninggalkan kedua anaknya bagai yatim piatu.
Seharian mas Faiz memikirkan apa yang akan ia katakan pada Khanza jika nanti ia menanyakan kepulangan ayahnya. Karena sungguh ia telah berbohong. Ia tahu Khanza sangat merindukan ayahnya, dan akan melakukan apapun karena ayah. Jadi mas Faiz sering membohonginya agar Khanza mau menuruti kata-katanya, seperti tadi pagi.
Sudah malam. Tak ada pertanyaan apapun dari mulut Khanza perihal kepulangan ayahnya. Mungkin dia lupa, karena memang ia sangat payah dalam urusan mengingat sesuatu.
***
Khanza setengah tersenyum, antara yakin dan tidak. Print. Satu persatu lembaran keluar dari mulut printer. Segera ia tata, dan masukkan ke dalam tas kecilnya.
Dengan keraguan, ia berjalan menuju kantor pos. Ia mencoba mengingat-ingat sebuah alamat penerbit surat kabar nasional. Tapi ia tak tahu mengapa begitu sulit mengingat alamat itu, padahal hanya alamat saja. Ia juga tak membawa pulpen untuk menuliskan alamat itu di selembar kertas.
“dikirim kemana dik?”
“ke alamat penerbit surat kabar nasional pak, tapi saya lupa alamatnya”
“ooo, ” petugas pos itu mengerti dan langsung mencari sesuatu di timbunan kertas samping mejanya.
“ini, silakan adik tulis di amplop”
“terima kasih pak”, Khanza tersenyum, ternyata ia masih diberi kemudahan.
Ia keluar dari kantor pos dengan wajah berser-seri. Tak ada ragu lagi. Karena ragu hanya akan membuat pikirannya tidak tenang dan harapannya hanyut. Ia benar-benar ingin meyakini harapan itu. Ia benar-benar menginginkan the end itu terjadi.
Ia sudah melakukan apa yang bisa ia lakukan. Sebelum semua terlambat dan ia tak bisa melakukan apa-apa. Setidaknya ia sudah berusaha untuk harapan itu, seberapa kecil pun harapan yang ada. Seperti nasehat kakaknya yang ia tiru dari ayahnya semasa mereka kecil. Bahwa Khanza tak boleh menyerah dan menangis.
Bagaimanapun, saat ini ia hanya memiliki harapan. Dan harapan itu tidak akan ia biarkan kabur bersama rasa ragu dan pesimismenya. Tidak boleh.
***
Hari ini sudah seminggu sejak Khanza mengirimkan amplop itu ke penerbit surat kabar. Dan memang benar, pagi itu surat kabar memuat kirimannya.
“Khanza”
“ya mas”
“apa ini........”
“iya mas, itu Khanza yang kirim”, mas Faiz tertegun, tak menyangka adiknya akan berbuat demikian. Karena selama ini mas Faiz mengira Khanza tak  mengerti apa-apa. Menyangka Khanza tak merasakan kegelisahan yang sama sepertinya.
“mas...mas Faiz ndak usah berbohong lagi ya, ndak usah mengkhawatirkan perasaan Khanza dengan berbohong seperti Idul Fitri kemarin”
“Khanza....”, kata mas Faiz lirih sambil memeluk adiknya. Ada perasaan menyesak di dadanya, ketika mengetahui adiknya yang dia kira begitu polos dan tidak mengerti apa-apa ternyata pun menyimpan kegelisahan yang sama, kerinduan akan kehidupan yang selayaknya mereka dapatkan. Tapi  mereka hanya berdua, hidup mereka hanya berdua.
“mas, Khanza tahu kalau ayah ndak akan pulang, tapi Khanza yakin ayah masih hidup disana, dan dia akan pulang jika ia membaca kiriman Khanza di surat kabar itu, ya kan mas?”, mas Faiz hanya terdiam sembari terus memeluk adiknya. Ia merasa lebih lemah dibanding adiknya.
Sedang Khanza sendiripun sedang berusaha tetap meyakini harapannya. Tulisannya sudah terbit di surat kabar, beribu orang akan membacanya. Masa ayahnya tak membaca, kecuali jika ayahnya telah jauh dari negeri ini, atau ayahnya sudah berada di surga bersama ibunya. Ah, tidak. Ayahnya masih hidup dan ayahnya  pasti membaca dan akan pulang menemui kedua anaknya.
***
Khanza terduduk di sudut kamarnya. Lengang. Disudut yang lain setangkai bunga dalam vas berdiri di atas meja kecil dengan keadaan sama layunya dengan wajah Khanza. Kening Khanza mengkerut, tangannya menggenggam sebuah halaman surat kabar. Berulang-ulang ia membaca “Ayah, Pulanglah Ke Rimba Kedua Anakmu”. Bibirnya terus bergetar, mengucapkan nama ayahnya. Di depan pintu kamarnya, mas Faiz berdiri kaku. Lalu perlahan mendekati adiknya.
“ sudah hampir satu bulan mas, kenapa ayah ndak pulang juga?”
Mas Faiz mencoba tersenyum “ bukan ndak pulang sayang, tapi belum”, mas Faiz mengambil kertas surat kabar itu di tangan Khanza, lalu diletakkannya di samping vas bunga. Mas Faiz sesungguhnya benar-benar sadar bahawa mereka berdua telah layu. Tak ada lagi kesanggupan yang kuat untuk terus bersandiwara, terus tersenyum dalam bayangan kesendirian. Ya, mereka hanya berdua, hidup mereka hanya untuk berdua, meskipun sampai sekarang ia masih terus membiarkan Khanza berharap.
“mas.........”, panggil Khanza, mas Faaiz menoleh
“ Khanza takut jika ayah tak juga pulang, nanti Khanza lupa dengan wajah ayah”, lanjutnya sambil terisak
Mas Faiz langsung menghampirinya. Mendekapnya erat. Ada perasaan yang sangat menusuk. Ia tak ingin Khanza serapuh ini, tapi ia pun kini rapuh, sangat rapuh. Ia tak ingin kehilangan adiknya. Ia sangat menyayangi adiknya. Hanya Khanza satu-satunya miliknya yang paling berharga. Hanya Khanza yang ia miliki. Hanya mereka berdua.
“tidak sayang, kamu ndak akan lupa dengan wajah ayah, jika tidak, kamu harus selalu ingat mas Faiz, jadi jika memang kamu lupa, mas Faiz yang akan memberi tahu kamu kalau kita bertemu ayah”, kata mas Faiz terbata.
Ia sungguh tak mampu lagi menahan air matanya. Khanza, adik satu-satunya dan satu-satunya miliknya yang paling berharga sangat berharap akan kedatangan ayahnya. Khanza sungguh merindukan ayahnya. Tetapi mas Faiz tak bisa berbuat apa-apa untuk memenuhi kerinduan adiknya.
Bahkan untuk sekali saja seumur hidup Khanza.

The end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar