Senin, 21 November 2011

AIR MATA SENJA

Seorang perempuan muda berjalan di trotoar jalan menuju sebuah Universitas.  Terlihat lesu,dengan wajah yang menunduk. Jilbabnya terulur menjuntai sampai di atas lutut. Sesekali tersenyum saat terdengar sapa dari orang yang ikut berlalu lalang,lalu kembali menunduk diam.

Perempuan itu bernama Senja. Mahasiswi semerter akhir Universitas ini.

Ia menuju masjid tempat ia biasa berdiam. Tak banyak cakap,ia lalu saja mengambil air wudhu, memakai mukena ungunya lantas kembali berdiam. Padahal pagi masih begitu sejuk untuk ia termenung dan menangis. Ya, pasti ia akan menangis lagi.

Terduduk tenang namun gelisah. Air matanya mulai menitik melalui mata yang terpejam. Menghayati tiap sayatan luka di hatinya. Ia begitu terluka. Ia mengingat semua kejadian yang tak terduga, yang melibas ketabahannya dan membuatnya terasa munafik untuk tidak merasakan sakit.

***

“bagaimana ukhti?”
“saya berserah pada Allah, karena Dia yang lebih mengerti apa yang saya butuhkan. Tapi biarkan saya istikharoh dulu akh”
“baiklah ukh” 

Senja tak bisa memungkiri hatinya berbunga saat itu. Disembunyikanpun tak bisa, diletakkannya ponselnya di dada, senyumnya mengembang di wajah ayunya. Bagaimana tidak, seorang laki-laki yang sejak lama menawan hatinya telah menawarkan diri menjadi suaminya. Yang biasa hanya bisa ia dengar suaranya saat suro’ di organisasi, mungkin sebentar lagi akan menjadi belahan jiwanya.

Wajahnya begitu berseri. 

“saya sudah istikharoh akh”
“lalu bagaimana jawaban ukhti?” 
“insya Allah akh” 

Tersenyum malu. Gejolak cinta semakin membuncah dihatinya. Betapa ia semakin tak dapat menyembunyikan kebahagiannya.

“ukh, tolong saya minta ukuran jari anti untuk cincin”
“iya akh, besok saya titipkan”
“ukhti ingin baju walimahan yang seperti apa?”
“yang sederhana saja akh, krem atau coklat”
“^_^”
“kenapa tersenyum akh?”
“pilihan ukhti bagus”

Langit terasa sangat cerah, udara begitu sejuk mengibas relung hatinya. Harapannya semakin merekah. Dan seperti apa yang dilakukan gadis lain yang sedang berbahagia, ia mulai menata diri, menata hati, mempercantik diri dan hati. Ya, senja mulai belajar berhias. Senja tak ingin suaminya nanti kecewa sedikitpun. Dan terlihat paras ayunya semakin ayu, semburat jingga pipinya merona seperti senja, seperti namanya.

“kamu benar-benar yakin nduk?”
“insya Allah umi, senja sudah menanti, jadi bukankah ini adalah jawaban dari Allah atas penantian itu umi?” “iya nduk, semoga...” ibunya termenung.

Firasat. Ada ganjalan yang menyesak terselip ketika melihat gadisnya begitu larut dalam harapan. Tapi senja terlalu bahagia untuk mengerti bahasa tubuh ibunya. Ia masih sangat bahagia. Sangat bahagia.

***

Senja masih terduduk di tempatnya, butir doanya mengalir lirih beriringan dengan air matanya. Meresapi setiap ingatan lama saat ia hanya bisa mendengar suara suaminya di organisasi. Di masjid yang sama, membayangkan ia sedang berdebat tentang suatu permasalahan, membayangkan kumandang azan dari mulutnya. Argh...sesak.

“Istighfar ukh” seorang gadis menyentuh pundak senja dengan lembut. Senja mengangkat wajahnya, tersenyum pada sahabatnya. Tapi tidak dengan hatinya. Hatinya masih sedih meratap pada takdir buruk itu.
“saya sudah mendapatkan yang terbaik ukh, saya bersyukur untuk itu semua, hanya saja ada sesal yang masih menyesak di hati saya ukh” 
“saya mengerti ukh, sekarang sandarkan semuanya pada Allah, hanya Dia yang mampu menguatkan ukhti”

Senja tersenyum, lantas ambruk memeluk sahabatnya. Ia tak pernah selemah ini. Ia wanita yang tegar. Tapi entah, semua hilang begitu saja. Tak ada sisa kekuatan dan ketabahan yang ada. Semua menguap bersama air matanya tiap kali ia tersedu mengingat semua kenangan dan cita-cita manis yang tiba-tiba menjadi ingatan yang begitu buruk dan menyakitkan. 

Sahabatnya mengusap air mata senja, ia paham benar apa yang senja rasakan. Ia baru saja bahagia sekaligus terluka. Luka yang sangat dalam, dan menghantam ketabahan seorang senja.

“sudahkan ukti melihat makam almarhum?”, senja menggeleng 
“ukhti pingsan waktu itu,terlalu lemah untuk ikut ke pemakaman,sekarang mungkin sudah waktunya ukhti ziarah, doakan suamimu disana” 
the end   

tak ada yang dapat menebak ketika takdir menjemput. Bahkan sebelum seteguk kenikmatanpun dirasakan, sebelum segenggam baktipun dihanturkan. Tak ada yang tahu bahwa maut telah begitu dekat

2 komentar: