Kamis, 24 November 2011

Sajak Bisu


Tak mampu lagi mencipta
Rentetan kata yang dulu penuh makna
Yang pernah ku bersandar padanya

Kini hilang tak berbekas
Lenyap tanpa jejak
Tinggalkan raga lapuk
Menjauh dari hati yang meratap

Deritaku ini...
Ingin sekali kujadikan bingkisan indah
Namun tulisan ini pun buruk jadinya
Seburuk nasib yang tertulis bagiku

Perasaan ini...
Keindahan yang meninggalkanku
Aku yang kehilangan kataku
Hingga sajakku bisu

Tentang the end untuk Khanza


Malam  sebelum idul fitri,
Khanza terduduk lesu, berkali-kali mulutnya mendesah lelah. Matanya layu seperti bunga di vas yang selalu lupa ia ganti. Sesekali ia melirik penanda jam di sudut komputernya, waktu begitu cepat berjalan, pikirnya.
Tangannya menggapai gelas susu di sampingnya, seruputan terakhir. Malas untuk pergi ke dapur dan membuat minum atau makanan, padahal perutnya sudah bernyayi-nyayi. Atau paling tidak mengambil makanan kecil untuk menemaninya bergadang sampai pagi.
“belum selesai juga?”, kata mas Faiz tiba-tiba di depan pintu kamar Khanza. Ternyata khanza lupa menutup pintu.
“belum mas, ini juga mau diselesaikan”
“jangan terlalu ngoyo, istirahat dulu, besuk kan masih bisa dilanjutkan”
“nanggung mas, tinggal sedikit kok” kata Khanza sambil nyengir ke arah kakaknya.
“ya sudah, cepat selesaikan, sudah malam” kata mas Faiz sambil berlalu dari kamar Khanza.
Jemari Khanza kembali bergerilya di atas keyboard komputernya. Baris demi baris mulai memenuhi layar microsoft word dengan cepat. Mengalir begitu saja inspirasinya. Entahlah sepertinya ada nyawa lain yang membantunya. Mungkin almarhum W.S Rendra, atau Chairil Anwar (tapi kan mereka bukan cerpenis, hehehe).
Bagian ending,
Tiba-tiba tangannya terhenti. Ia membaca kembali tulisannya. Ia mulai ragu dengan apa yang ia tuliskan. Ia ragu untuk membuat akhir dari ceritanya.
“tidak seperti ini, ini terlalu khayal dan bohong”, ia berkata pada dirinya sendiri.
Tangannya menuju tombol delete pada keyboard. Tertahan. Tak jadi dihapus. Ia lantas menutup pekerjannya. Mematikan komputernya. Tidur dengan pikiran yang masih menggantung di otaknya. Tentang the end.
***
Khanza terbangun ketika mas Faiz membangunkannya untuk segera sholat subuh. Ia hanya mendesah, lalu kembali menarik selimutnya yang melorot sambil menguap.
“sudah mas kira, pasti jadi susah di bangunkan, lain kali jangan tidur terlalu larut” kata mas Faiz lembut sambil mengelus kepala adik tercintanya.
“nanti ayah marah lho, ayo bangun”
“memangnya nanti ayah pulang mas??” kata Khanza , langsung bangun, girang.
Mas Faiz tersenyum, “sudah cepat ambil air wudhu, atau sekalian mandi dulu, nanti sholat id kan?”
Khanza tersenyum riang. Merangkul bahu kakaknya. Begitu bahagia mengira bahwa ayahnya benar-benar akan pulang. Padahal tak demikian, mas Faiz saja tak tahu dimana keberadaan ayah mereka. Sudah terlalu lama menghilang dari hari-hari mereka. Sudah terlalu lama meninggalkan kedua anaknya bagai yatim piatu.
Seharian mas Faiz memikirkan apa yang akan ia katakan pada Khanza jika nanti ia menanyakan kepulangan ayahnya. Karena sungguh ia telah berbohong. Ia tahu Khanza sangat merindukan ayahnya, dan akan melakukan apapun karena ayah. Jadi mas Faiz sering membohonginya agar Khanza mau menuruti kata-katanya, seperti tadi pagi.
Sudah malam. Tak ada pertanyaan apapun dari mulut Khanza perihal kepulangan ayahnya. Mungkin dia lupa, karena memang ia sangat payah dalam urusan mengingat sesuatu.
***
Khanza setengah tersenyum, antara yakin dan tidak. Print. Satu persatu lembaran keluar dari mulut printer. Segera ia tata, dan masukkan ke dalam tas kecilnya.
Dengan keraguan, ia berjalan menuju kantor pos. Ia mencoba mengingat-ingat sebuah alamat penerbit surat kabar nasional. Tapi ia tak tahu mengapa begitu sulit mengingat alamat itu, padahal hanya alamat saja. Ia juga tak membawa pulpen untuk menuliskan alamat itu di selembar kertas.
“dikirim kemana dik?”
“ke alamat penerbit surat kabar nasional pak, tapi saya lupa alamatnya”
“ooo, ” petugas pos itu mengerti dan langsung mencari sesuatu di timbunan kertas samping mejanya.
“ini, silakan adik tulis di amplop”
“terima kasih pak”, Khanza tersenyum, ternyata ia masih diberi kemudahan.
Ia keluar dari kantor pos dengan wajah berser-seri. Tak ada ragu lagi. Karena ragu hanya akan membuat pikirannya tidak tenang dan harapannya hanyut. Ia benar-benar ingin meyakini harapan itu. Ia benar-benar menginginkan the end itu terjadi.
Ia sudah melakukan apa yang bisa ia lakukan. Sebelum semua terlambat dan ia tak bisa melakukan apa-apa. Setidaknya ia sudah berusaha untuk harapan itu, seberapa kecil pun harapan yang ada. Seperti nasehat kakaknya yang ia tiru dari ayahnya semasa mereka kecil. Bahwa Khanza tak boleh menyerah dan menangis.
Bagaimanapun, saat ini ia hanya memiliki harapan. Dan harapan itu tidak akan ia biarkan kabur bersama rasa ragu dan pesimismenya. Tidak boleh.
***
Hari ini sudah seminggu sejak Khanza mengirimkan amplop itu ke penerbit surat kabar. Dan memang benar, pagi itu surat kabar memuat kirimannya.
“Khanza”
“ya mas”
“apa ini........”
“iya mas, itu Khanza yang kirim”, mas Faiz tertegun, tak menyangka adiknya akan berbuat demikian. Karena selama ini mas Faiz mengira Khanza tak  mengerti apa-apa. Menyangka Khanza tak merasakan kegelisahan yang sama sepertinya.
“mas...mas Faiz ndak usah berbohong lagi ya, ndak usah mengkhawatirkan perasaan Khanza dengan berbohong seperti Idul Fitri kemarin”
“Khanza....”, kata mas Faiz lirih sambil memeluk adiknya. Ada perasaan menyesak di dadanya, ketika mengetahui adiknya yang dia kira begitu polos dan tidak mengerti apa-apa ternyata pun menyimpan kegelisahan yang sama, kerinduan akan kehidupan yang selayaknya mereka dapatkan. Tapi  mereka hanya berdua, hidup mereka hanya berdua.
“mas, Khanza tahu kalau ayah ndak akan pulang, tapi Khanza yakin ayah masih hidup disana, dan dia akan pulang jika ia membaca kiriman Khanza di surat kabar itu, ya kan mas?”, mas Faiz hanya terdiam sembari terus memeluk adiknya. Ia merasa lebih lemah dibanding adiknya.
Sedang Khanza sendiripun sedang berusaha tetap meyakini harapannya. Tulisannya sudah terbit di surat kabar, beribu orang akan membacanya. Masa ayahnya tak membaca, kecuali jika ayahnya telah jauh dari negeri ini, atau ayahnya sudah berada di surga bersama ibunya. Ah, tidak. Ayahnya masih hidup dan ayahnya  pasti membaca dan akan pulang menemui kedua anaknya.
***
Khanza terduduk di sudut kamarnya. Lengang. Disudut yang lain setangkai bunga dalam vas berdiri di atas meja kecil dengan keadaan sama layunya dengan wajah Khanza. Kening Khanza mengkerut, tangannya menggenggam sebuah halaman surat kabar. Berulang-ulang ia membaca “Ayah, Pulanglah Ke Rimba Kedua Anakmu”. Bibirnya terus bergetar, mengucapkan nama ayahnya. Di depan pintu kamarnya, mas Faiz berdiri kaku. Lalu perlahan mendekati adiknya.
“ sudah hampir satu bulan mas, kenapa ayah ndak pulang juga?”
Mas Faiz mencoba tersenyum “ bukan ndak pulang sayang, tapi belum”, mas Faiz mengambil kertas surat kabar itu di tangan Khanza, lalu diletakkannya di samping vas bunga. Mas Faiz sesungguhnya benar-benar sadar bahawa mereka berdua telah layu. Tak ada lagi kesanggupan yang kuat untuk terus bersandiwara, terus tersenyum dalam bayangan kesendirian. Ya, mereka hanya berdua, hidup mereka hanya untuk berdua, meskipun sampai sekarang ia masih terus membiarkan Khanza berharap.
“mas.........”, panggil Khanza, mas Faaiz menoleh
“ Khanza takut jika ayah tak juga pulang, nanti Khanza lupa dengan wajah ayah”, lanjutnya sambil terisak
Mas Faiz langsung menghampirinya. Mendekapnya erat. Ada perasaan yang sangat menusuk. Ia tak ingin Khanza serapuh ini, tapi ia pun kini rapuh, sangat rapuh. Ia tak ingin kehilangan adiknya. Ia sangat menyayangi adiknya. Hanya Khanza satu-satunya miliknya yang paling berharga. Hanya Khanza yang ia miliki. Hanya mereka berdua.
“tidak sayang, kamu ndak akan lupa dengan wajah ayah, jika tidak, kamu harus selalu ingat mas Faiz, jadi jika memang kamu lupa, mas Faiz yang akan memberi tahu kamu kalau kita bertemu ayah”, kata mas Faiz terbata.
Ia sungguh tak mampu lagi menahan air matanya. Khanza, adik satu-satunya dan satu-satunya miliknya yang paling berharga sangat berharap akan kedatangan ayahnya. Khanza sungguh merindukan ayahnya. Tetapi mas Faiz tak bisa berbuat apa-apa untuk memenuhi kerinduan adiknya.
Bahkan untuk sekali saja seumur hidup Khanza.

The end

CATATAN DI KAKI HUJAN


Kala terpekurku hanya kau jawab dengan angkuhmu, doa dan pintaku menjadi debu beterbangan. Kapan kau akan mengerti? Sesak batin ini setiap tersadar aku tak mampu mengubah cara pandangmu terhadapku, terhadap perasaanku. Kau hanya menganggapku sebagai pengganggu. Selalu seperti itu.
Ku akui pendirianmu. Tak ada wanita yang mampu mencairkan hatimu dan membuatmu dengan senang hati memberikan tempat di sampingmu. Kau terlalu angkuh dan kaku. Setidaknya itu yang kutangkap dari sikapmu. Atau mungkin sikapmu itu hanya berlaku untukku. Aku tak tau. Meskipun aku sendiri berharap bahwa aku akan menjadi empu hatimu yang pertama.
Argh, sejak kekagumanku yang berlebihan padamu dan rasa aneh ini mulai menjangkitiku, aku terus berkhayal. Aku jadi membayangkan jika suatu saat kau datang dan memberiku setangkai bunga sebagai perlambang cinta. Yah meski sebenarnya aku tak suka bunga, tapi itu lebih berharga daripada aku terus menerka-nerka apa yang ada di dalam hatimu.
Sejenak aku tersenyum dalam lamunanku. Lantas ketika aku sadar, lenyap.
Realistis. Nyatanya aku tak istimewa. Aku hanya satu dari sekian banyak orang yang kau kenal. Entahlah, aku menikmatinya saja. Bahkan ketika aku sendiri sadar kekagumanku telah melampaui batas logika. Mungkin karena ada sesuatu di balik rupamu yang biasa, dan sesuatu itu tak pernah hilang bahkan ketika kau hanya diam termenung tanpa ekspresi. Kau terlihat indah. Indah yang tak biasa dimiliki oleh kebanyakan laki-laki.
Gombal! Mungkin itu yang akan kau katakan jika aku lontarkan ini padamu. Kau akan merasa risih karena aku adalah seorang wanita yang agresif menyatakan perasaannya. Ini bagian dari kejujuran, kau tahu kan?
Kapan kau akan memberiku kesempatan? Mustahil jika kau menyuruhku untuk berhenti. Aku telah terperangkap dalam kubangan ini. Meski sadar tak sepenuhnya. Aku masih bisa melirik lali-laki lain yang terlihat lebih tampan. Dan hanya sebentar. Setelah itu aku kembali berlama-lama dengan perasaanku. Tentu saja karena aku tak pernah mengukurmu dari ketampanan. Kau tidak tampan. Hehehe
“kenapa kau menginginkanku?”
“karna aku mencintaimu”, kau diam. Kupikir lagi apa yang baru saja ku katakan.  Apa aku salah bicara? Atau aku terlalu jujur mengatakannya di depanmu? Kau diam lebih lama.
“kau terlalu berani mengatakan itu”
“maksudmu lancang?”
“terlalu terburu-buru. Kau belum benar-benar memikirkannya”
“aku sudah memikirkannya, matang-matang, bahkan tak bisa lagi dihitung berapa kali”, kau diam. Lagi-lagi diam. Aku menunggumu mengeluarkan kata yang akan mempetegas  jawabanmu. Tak ada. Tak bersuara.
Ku amati wajahmu. Ada beberapa helai rambut di dagumu. Aku bisa menghitungnya. Kau terlihat lucu. Hehehe. Aku tertawa dalam hati.
“jangan nikmati panah setan”, katamu tiba-tiba. Aku terhenyak. Lagi-lagi hanya dalam bayangan. Tak ada percakapan yang benar-benar nyata.  Kenyataannya aku tak cukup kebal untuk mengatakan cinta padamu. Aku tak siap jika seketika itu hatiku remuk oleh penolakan.
Aku pernah sekali dua bercakap denganmu.  Aku selalu mengingat percakapan kita yang terlalu singkat. Aku suka melihat gerak bibirmu saat kau bicara, dan gigimu. Temanku pernah bilang gigi kita mirip. Sedikit mancung kedalam. Aku tersenyum mengingat itu. Aku tak pernah melihat matamu. Kau selalu memalingkannya dariku. Aku paham. Memang begitulah caramu dan teman-teman seideologimu itu berinteraksi dengan wanita. Ya, aku mengingat semua tentangmu. Dan aku tak pernah menyesali percakapan yang terlalu singkat itu.
Hei! Untuk apa kau memikirkannya? Ia tak pernah mempedulikanmu! Lupakan! bodoh! kerap bisikan itu menghampiri telingaku. Logikanya memang begitu. Aku akan melupakanmu jika aku mengingat keangkuhanmu. Tapi bukankah dalam cerita ini aku lepas dari logika. Dan bukankah memang begitu tabiat laki-laki. Wanita hanya sepertiga bagian dari hidupnya. Sedangkan wanita menganggap laki-laki adalah seluruh hidupnya. Argh...semua jadi semakin rumit kurasa.
Ingatkah kau saat senja sebelum peristiwa pahit itu terjadi. Ketika itu kita bertemu di lorong sekolah yang panjang. Kau bersama teman-temanmu. Aku bersama kawan-kawanku. Kau tersenyum. Ku balas dengan senyum. Lalu salah satu temanku mencubit lenganku. Mereka meledekku saat kau sudah berlalu di belakangku. Ya, aku memang terlalu ekstrovert. Aku tak bisa menyembunyikan apapun dari mereka. Termasuk perasaanku padamu, meskipun mereka semua tertawa saat pertama kali mendengar bahwa aku menyukaimu. “dia???”, Tanya mereka sontak dengan tanda tanya panjang di belakangnya. Hahahahaha…., mereka tertawa. “sadarlah,kau hanya akan jadi setan pengganggu buat dia”.
Aku tak mundur.
Senja berikutnya hujan lebat membuatku tertahan di sekolah setelah les yang begitu menyebalkan. Bagaimana tidak, aku jadi harus pulang sore setiap harinya dan berkejar-kejaran dengan hujan seperti ini.
Sesalku hilang tatkala aku melihatmu di seberang tubuhku berdiri. Meski ditutupi oleh garis- garis hujan yang jatuh dengan rapi, tapi aku bisa melihatmu dengan jelas. Aku merasakan hujan yang tadinya meraung-raung berubah melompat-lompat seperti katak. Waktu seolah melambat dan memberi kesempatan untukku melihatmu lebih lama. Kau menunggu hujan, sama sepertiku.
Senja ketiga kita bersama di sebuah forum diskusi remaja bersama ustad ternama. Tentu saja atas undanganmu. Aku merasa bersamamu meski kita berbeda kubu. Dan meski aku bingung mengapa kau memintaku datang di antara orang-orang yang memiliki ideologi “aneh” menurutku. Bagaimana tidak, mereka semua memakai serba hitam dengan jilbab besar yang panjangnya sampai atas lutut. Setahuku, islam hanya mewajibkan mengulur jilbab menutupi dada. Pemborosan saja.
Si ustad menjelaskan panjang lebar tantang remaja dan cinta versi mereka.
“bagaimana jika seorang wanita menyukai laki-laki, sedangkan laki-laki itu tidak berniat sama sekali untuk menerimanya, tapi takut untuk menolak, khawatir kalau penolakan itu menyebabkan terputusnya silaturahmi?”, tanyamu tiba-tiba. Aku terhenyak. Rasa nyeri tiba-tiba menjangkiti dadaku. Tersindir. Mungkinkah pertanyaan itu adalah jawaban dari pertanyaanku? Sesaat hening menyelimuti ruangan  meski ada  suara ngikik beberapa perempuan. Mungkin mereka merasa geli mendengar pertanyaanmu. Tak mengangka pertanyaan itu muncul dari mulut seorang sepertimu. Kau telah terlibat dalam noktah merah jambu.
“ehhm..”, suara dengan nada bass sang ustad berdehem mengawali detik-detik jawabannya untukmu. Bukan. Lebih tepatnya untukku.
“dinding hati wanita itu sangat tipis. Terketuk sedikit saja bisa terbuka, apalagi kau pukul, pasti langsung rubuh. Hati wanita itu mudah terluka, tapi sulit diobati. Jika hati seorang wanita terluka karena kau tolak cintanya, jangan salahkan dia jika dia menjauhimu. Karena tetap di dekatmu hanya akan menambah lukanya semakin parah, atau malah tak menemukan obatnya sama sekali. Jangan hubungkan cinta dengan silaturahmi. Karena hakikat dan sebab keduanya berbeda”, kau mengangguk tanda mengerti. Aku yang jadi tak mengerti. Aku tak paham dengan bahasa sublim orang-orang “aneh” ini. Atau otakku yang terlalu dangkal. Aku bingung. Entahlah, firasatku mengatakan ini buruk. Sepertinya aku harus menunggu jawaban lugas yang senyatanya darimu.
Acara selesai. Aku melihatmu di luar bersama segerombolan perserta yang lain. Kau tersenyum melihatku. Pertanda baik. Ah tidak. Kau tak mudah ditebak.
“bagaimana?”
“apa?”, aku bertanya, kau jawab tanya. Dasar laki-laki. Pura-pura tak mengerti. Padahal tak kurang jelas aku bertanya.
“surat itu”
“Surat?”
“kau lupa? Ya sudah akan kutulis lagi untukmu”
Maaf jika aku lancang menulis surat ini padamu. Kurasa aku tak perlu lagi menjelaskan panjang lebar tentang maksudku karena ku yakin kau sudah paham. Aku tak berniat memaksamu sama sekali untuk menuruti permintaanku. Ini hanya karena aku tak sanggup lagi menahan debam-debam yang memukul-mukul dadaku. Aku hanya ingin kau memberiku ketegasan. Jawaban yang benar-benar tegas dari mulutmu. Agar aku dapat menentukan langkahku selanjutnya. Jangan menyuruhku menyimpulkan sendiri. Aku tak pandai membeca sikapmu. Aku tak ingin salah persepsi. Jangan membuatku bertanya-tanya dan menjadikan hatiku terkatung-katung. Sungguh aku tak memaksa. Aku akan sangat bahagia jika kau memintaku tinggal. Tapi aku juga akan pergi jika kau menyuruhku pergi.
“sudah kau baca kan, sekarang bagaimana?”, kau menghela napas. Aku bisa mendengar gerak udara keluar dari hidungmu.
“sudah kubilang jangan terburu-buru”
“teburu-buru? Atau menunda-nunda??”, kau terperangah. Kurasa kata-kataku telah menyinggung titik lemah hatimu. Aku bisa melihat dari raut wajahmu yang berubah seketika. Kau sedang berintrospeksi, pikirku.
 Hujan bergelantung hampir jatuh. Kau pamit. Dan tak kujumpai lagi untuk waktu yang lama. Bahkan jejak kakimu pun rasanya tak ada.
Yang ku sadari, senja mengguratkan kata  the end  pada ketekunanku untuk meluluhkanmu. Pada kisah yang belum sempat kuawali. Kau menghindar dariku bak bocah yang berlari kala bertemu dengan  seseorang yang ditakuti.
Aku menyerah.
Aku telah menyimpan banyak kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. Maka diammu telah cukup untuk ku mengintip jendela hatimu. Bahwa tak ada bayanganku disana.
Akhir yang sungguh tak sempurna.

Selasa, 22 November 2011

Mencari Tanah Kembaramu


Bersama rintik hujan yang mencoba menari saat ia terjatuh,
Aku menyisir tapak-tapak
Mencari  tanah pengembaraanmu
Yang mungkin masih gersang untuk ku semai

Langkah-langkah berat untuk tersampai
Dimana arahmu tak jua ku tahu
Hanya menyisir samudra kembara
Terhantam ombak, menapaki pasir hitam, merasakan perihnya garam

Aku tak tahu kemana perhentian yang kau kehendaki
Sedangkan nyeri kian menggerus pikiranku
Hatiku lumpuh,
Tiadakah kau hendak menyudahi pengembaraanmu?
Aku lelah terus berlari
Sedang kau makin jauh berkelana
Ke kelana tanpa ujung

Senin, 21 November 2011

puisi gagu


Puisi  hanyalah kata-kata yang membawa nyawa penyair mengembara dalam cita-cita khayal dan rajutan asa yang terkadang membual
Mengajak orang terharu, meratap, dan menangisi dunia yang diciptakan oleh penyair
Dunia yang tak ada
Lakon maya
Perasaan hiperbol
Rekaan semata

Apa yang kau banggakan dari puisi ini?
Ini hanya kata bermakna palsu
Tipuan untukmu, kawan

Kenapa kau percaya?
Apa yang kau percayai dari puisi ini?
Ambisi
Cinta
Derita

Argh...
Omong kosong kawan,,
Puisiku sesungguhnya bisu

Lihat saja bidadari itu
Yang tempo hari kukirimkan sepucuk untuknya
Tak ada reaksi barang sedikitpun

Lihatlah yang duduk di atas sana
Sudah kukirim pula sepucuk untuknya
Tapi ia tak bergeming dari tempat duduknya


Sekarang kau tahu kawan,
Puisiku hanyalah kata saja
Puisiku memang tak dapat berkata
Puisiku gagu, bisu

AIR MATA SENJA

Seorang perempuan muda berjalan di trotoar jalan menuju sebuah Universitas.  Terlihat lesu,dengan wajah yang menunduk. Jilbabnya terulur menjuntai sampai di atas lutut. Sesekali tersenyum saat terdengar sapa dari orang yang ikut berlalu lalang,lalu kembali menunduk diam.

Perempuan itu bernama Senja. Mahasiswi semerter akhir Universitas ini.

Ia menuju masjid tempat ia biasa berdiam. Tak banyak cakap,ia lalu saja mengambil air wudhu, memakai mukena ungunya lantas kembali berdiam. Padahal pagi masih begitu sejuk untuk ia termenung dan menangis. Ya, pasti ia akan menangis lagi.

Terduduk tenang namun gelisah. Air matanya mulai menitik melalui mata yang terpejam. Menghayati tiap sayatan luka di hatinya. Ia begitu terluka. Ia mengingat semua kejadian yang tak terduga, yang melibas ketabahannya dan membuatnya terasa munafik untuk tidak merasakan sakit.

***

“bagaimana ukhti?”
“saya berserah pada Allah, karena Dia yang lebih mengerti apa yang saya butuhkan. Tapi biarkan saya istikharoh dulu akh”
“baiklah ukh” 

Senja tak bisa memungkiri hatinya berbunga saat itu. Disembunyikanpun tak bisa, diletakkannya ponselnya di dada, senyumnya mengembang di wajah ayunya. Bagaimana tidak, seorang laki-laki yang sejak lama menawan hatinya telah menawarkan diri menjadi suaminya. Yang biasa hanya bisa ia dengar suaranya saat suro’ di organisasi, mungkin sebentar lagi akan menjadi belahan jiwanya.

Wajahnya begitu berseri. 

“saya sudah istikharoh akh”
“lalu bagaimana jawaban ukhti?” 
“insya Allah akh” 

Tersenyum malu. Gejolak cinta semakin membuncah dihatinya. Betapa ia semakin tak dapat menyembunyikan kebahagiannya.

“ukh, tolong saya minta ukuran jari anti untuk cincin”
“iya akh, besok saya titipkan”
“ukhti ingin baju walimahan yang seperti apa?”
“yang sederhana saja akh, krem atau coklat”
“^_^”
“kenapa tersenyum akh?”
“pilihan ukhti bagus”

Langit terasa sangat cerah, udara begitu sejuk mengibas relung hatinya. Harapannya semakin merekah. Dan seperti apa yang dilakukan gadis lain yang sedang berbahagia, ia mulai menata diri, menata hati, mempercantik diri dan hati. Ya, senja mulai belajar berhias. Senja tak ingin suaminya nanti kecewa sedikitpun. Dan terlihat paras ayunya semakin ayu, semburat jingga pipinya merona seperti senja, seperti namanya.

“kamu benar-benar yakin nduk?”
“insya Allah umi, senja sudah menanti, jadi bukankah ini adalah jawaban dari Allah atas penantian itu umi?” “iya nduk, semoga...” ibunya termenung.

Firasat. Ada ganjalan yang menyesak terselip ketika melihat gadisnya begitu larut dalam harapan. Tapi senja terlalu bahagia untuk mengerti bahasa tubuh ibunya. Ia masih sangat bahagia. Sangat bahagia.

***

Senja masih terduduk di tempatnya, butir doanya mengalir lirih beriringan dengan air matanya. Meresapi setiap ingatan lama saat ia hanya bisa mendengar suara suaminya di organisasi. Di masjid yang sama, membayangkan ia sedang berdebat tentang suatu permasalahan, membayangkan kumandang azan dari mulutnya. Argh...sesak.

“Istighfar ukh” seorang gadis menyentuh pundak senja dengan lembut. Senja mengangkat wajahnya, tersenyum pada sahabatnya. Tapi tidak dengan hatinya. Hatinya masih sedih meratap pada takdir buruk itu.
“saya sudah mendapatkan yang terbaik ukh, saya bersyukur untuk itu semua, hanya saja ada sesal yang masih menyesak di hati saya ukh” 
“saya mengerti ukh, sekarang sandarkan semuanya pada Allah, hanya Dia yang mampu menguatkan ukhti”

Senja tersenyum, lantas ambruk memeluk sahabatnya. Ia tak pernah selemah ini. Ia wanita yang tegar. Tapi entah, semua hilang begitu saja. Tak ada sisa kekuatan dan ketabahan yang ada. Semua menguap bersama air matanya tiap kali ia tersedu mengingat semua kenangan dan cita-cita manis yang tiba-tiba menjadi ingatan yang begitu buruk dan menyakitkan. 

Sahabatnya mengusap air mata senja, ia paham benar apa yang senja rasakan. Ia baru saja bahagia sekaligus terluka. Luka yang sangat dalam, dan menghantam ketabahan seorang senja.

“sudahkan ukti melihat makam almarhum?”, senja menggeleng 
“ukhti pingsan waktu itu,terlalu lemah untuk ikut ke pemakaman,sekarang mungkin sudah waktunya ukhti ziarah, doakan suamimu disana” 
the end   

tak ada yang dapat menebak ketika takdir menjemput. Bahkan sebelum seteguk kenikmatanpun dirasakan, sebelum segenggam baktipun dihanturkan. Tak ada yang tahu bahwa maut telah begitu dekat