Kamis, 16 Februari 2012

Sayap-Sayap Cahaya

     Pagi ini terasa beku, embun di muka daun pun belum kering. Samar-samar suara langkah berdetak  menyeret di sepanjang lorong sekolah.
     Krekkkk…suara derit pintu kelas memecah keheningan. Sesosok tubuh laki-laki , tinggi, rambutnya ikal masuk ke dalam kelas. Sejenak ia melihat ke setiap sudut ruangan. Lalu duduk di atas meja paling depan. Menatap papan tulis dan jam dinding yang bergelayut manja di atasnya. Diamatinya setiap gerak gerik jarum jam. Dalam pikirannya, mungkin sebentar lagi……ahh ia tak ingin memikirkan itu.
     Pak Tarjo, tukang kebun yang baru saja selesai menyapu di depan kelas pun merasa heran. Dipandanginya anak laki-laki itu yang sedari tadi hanya diam mematung di atas meja.
     “mas ….,mas cahyo..,kok jam segini sudah disini?? ”
     Ya, namanya Cahyo, siswa kelas XI di sekolah ini. Siswa yang selalu membuat para guru dan teman-temannya jengkel karena ia sering membuat ulah. Tapi meski banyak yang tak menyukainya, ia adalah sahabat terbaikku. Ada sisi lain pada dirinya yang tak dietahui oleh orang lain. Ahh andai mereka tahu tak kan seperti ini jadinya.
     “mas…, mas Cahyo….?”, kembali pak Tarjo menyapa.
     Cahyo hanya menoleh lalu memandang pak Tarjo yang berdiri di depan pintu dengan sapu, pengki dan tempat sampah kecil di tangannya.
     “gak papa kok pak” jawabnya kemudian
     “masih kepikiran yang kemarin ya mas?”, Tanya pak Tarjo seraya duduk di samping Cahyo. Sehingga tak hanya ada satu laki-laki yang duduk disana, tapi ada pak Tarjo seorang laki-laki tua berusia 50 tahun. Kulitnya hitam dan rambutnya lepek tak terawat. Cahyo pun masih diam, malah melihat ke atas lebih dan lebih.
     “udah mas, gak usah dipikirin”, lanjut pak Tarjo
     Cahyo menoleh ke arah pak Tarjo, diamatinya wajah yang sudah mulai keriput itu. Apakah dia tahu sesuatu tentangnya? Ahh semoga saja tidak.
     “mikirin apa?”, tanya cahyo
     “ mas, saya tau, kadang orang hanya melihat yang jelek-jelek saja, padahal menurut saya mas ini orangnya baik. Mas sering bantuin saya angkat barang ke gudang, bakar sampah di belakang sekolah, meski mas jadi dimarahi karena asapnya masuk ke kelas. Tapi saya yakin mas akan tetep jadi orang hebat tanpa sekolah ini”.
     Cahyo terkesiap mendengar kalimat terakhir dari pak Tarjo. Astaga….ia baru sadar bahwa ia bukan lagi murid di sekolah ini.kemarin ia telah dikeluarkan dari sekolah dengan sederet pelanggaran yang dituduhkan atas dirinya. Selalu terlambat! Tidur di kelas!bikin ribut!tidak mengerjakan PR! Membakar sampah disamping kelas! Membolos! Mempermalukan guru di depan umum! Dan sederet tuduhan lain untuknya. Meski tak semua yang dilakukannya atas kesengajaan ataupun niat yang tidak baik. Ia memang pernah memprotes seorang guru di depan kelas. Bu, pipinya merah banget habis panen tomat ya?  Itu yang dikatakannya waktu itu. Ia hanya ingin gurunya tak lebih malu lagi jika lebih banyak yang melihat betapa merahnya pipi sang guru. Tapi ternyata bagi sekolah itu merupakan pelanggaran besar.
     Yah, memang begitu adanya. Tapi yang sedang menjalari pikirannya bukanlah itu. Ada hal lain yang sedang berkecamuk dalam pikirannya.
     Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.20 segera ia keluar dari kelas sebelum siswa yang lain datang dan meliatnya disana. Ia tak bisa membayangkan apa jadinya jika ada yang melihatnya, pasti ia akan jadi bahan tertawaan selama seharian.
     Sesampainya dirumah ia langsung masuk ke dalam kamarnya. Kamarnya termasuk kecil dibandingkan kamar-kamar lain yang ada di rumah itu. Hanya ada satu jendela kecil yang menghadap ke timur. Lalu ia copot seragam sekolahnya dan ia lempar ke lantai.
     Anjing!! Kata itu selalu ia ucapkan saat ia sedang marah. Mengumpat keluarganya dan dirinya sendiri. Mengumpat hidupnya yang ia rasa tak ada gunanya.
     Berkali-kali ia batuk didalam kamarnya yang terkunci. Ditutupnya mulutnya dengan telapak tangan. Ia tak ingin suaranya terdengar oleh orang lain. Karena bagi mereka suara batuknya akan sangat mengganggu mereka.
    “kalau sakit jangan dirumah! Nambah penyakit!” itu yang dikatakan bapaknya. Masih sangat jelas dalam ingatannya, waktu itu batuknya sedang kambuh. Menggigil dan sangat menyiksa. Bapaknya malah marah-marah dan memakinya. Lalu ia masuk kamar. Ia masih terus batuk sampai akhirnya ia memuntahkan cairan merah kental dari mulutnya.  Ya, itu tak pernah ia lupakan. Itu yang membuatnya benci sakit, benci rumah, benci keluarganya dan dirinya sendiri.
     Bapakya adalah orang pintar di kampung ini. Orang-orang kampung biasa memanggilnya si mbah, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa istri si mbah yang hobi shoping dan ngrumpi dengan tetangga. Kakaknya adalah seorang perawat di sebuah rumah sakir swasta ternama, tapi untuk merawat adiknya sendiri ia tak pernah sudi memberikan tangannya.
     Cahyo sering keluar malam-malam, menghilangkan suntuk dan menjauh dari rumah. Duduk di pinggir jalan berjam-jam memandangi kendaraan yang lalu lalang,para preman jalanan mabuk atau para PSK yang mulai mangkal. Nikmati saja sekarang, nanti kalian juga mampus! Umpatnya dalam hati.
     Pernah ia dikeroyok di jalanan. Seluruh tubuhnya babak belur. Tak ada yang menolongnya. Pagi-pagi ia terkapar di tengah jalan dan di antar pulang oleh seorang petani yang hendak ke sawah. Berhari-hari ia tak bisa bangun dari tempat tidur. Berbaring lemah di atas kasur. Tapi orang tuanya hanya sesekali masuk ke kamarnya sambil berkata masih sakit le? Tanpa menyentuhnya sedikitpun. Hanya itu, dan hanya ibunya.
     Begitu sucikah tangan mereka hingga tak sudi menyentuhku? Bahkan dalam keadaanku yang sepayah ini? Bukankah aku ada, aku masih hidup, bukan patung ataupun sampah?atau memang aku adalah sampah bagi mereka?, Pikirnya.
     Waktu itu ia menelponku malam-malam. Ia bilang ia telah putus asa. Lalu kubilang jangan lembek
Lalu ia pulang. Bapaknya sedang menerima tamu. Mungkin pasien, atau orang yang mencari peruntungan, atau minta cekelan atau minta jampi biar usahanya lancar. Kadang terpikir, lucu sekali mereka yang percaya dengan si mbah . kalau di rumah ada yang sakit saja bapak lari ke dokter. Belum lagi rejeki, rejeki sendiri saja seret. Kalo memang sakti, mbok ya pakai jampi-jampi saja buat cari duit.
     Setelah pekerjaan bapaknya selesai Cahyo lalu mendekat. Sedangkan bapaknya sibuk membereskan peralatan perdukunannya. Bunga melati, kemenyan dan parfum yang biasa dia oleskan pada piranti yang ia berikan pada santrinya. Begitu sebutan untuk orang-orang yang mengggunakan jasa bapak.
     “ pak, Cahyo mau ngomong” kata Cahyo mulai bicara
     “ ngomong opo?” jawab bapaknya masih sambil wira-wiri
     “ Cahyo sakit pak,,”         
     Mendengar itu bapaknya langsung berhenti. Matanya menatap tajam pada Cahyo. Sorot matanya penuh kemarahan. Lalu ia duduk tepat di kursi depan cahyo. Kedua tangannya mengepal bertumpu pada lutut.
     “ terus apa urusannya sama bapak! Kalau kamu mau tanya soal penyakit, tanya sama masmu!jangan ganggu bapak, bapak sibuk!!” lalu ia berdiri dan menuju sebuah ruang yang biasa dipakai untuk ritual. Acuh sekali dengan apa yang sedang dirasakan Cahyo.
     “tapi pak…” plakkkk!! Belum sempat ia melanjutkan perkataannya bapaknya mendaratkan sebuah pukulan tangan tepat di tulang pipi kirinya. Brakk!  Seketika itu Cahyo terjatuh, badannya terpelanting ke pintu di belakangnya.
     “kamu itu le! Kenapa sekarang nyebut sama bapak!dulu bapak bangga-banggain kamu!bapak turuti apa mau kamu! Tapi kamu malah bergaul dengan teman-temanmu yang brandalan itu! tiap hari kerjanya mabuk-mabukan! kalo sekarang kamu kena batunya begini, baru kamu inget sama bapakmu le!!”
     Ya, dulu memang Cahyo pernah terjerumus pada lubang hitam itu. Bertahun tahun yang lalu sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia mangakui bahwa yang sekarang ia alami mungkin adalah hukuman bagi dirinya atas perbuatannya dulu. Tapi bukankah itu hanya masa lalu,, bagian dari sisi gelapnya yang seharusnya tak perlu lagi diungkit-ungkit ke permukaan.
     Sejak beberapa bulan yang lalu, semenjak ia menyadari bahwa penyakit itu telah kian menggerogoti parunya, ia telah menjauhi minuman terlaknat itu. Setiap ditanya oleh teman-temannya, ia selalu bilang lagi males  meskipun itu bukan alasan dan bukan jawaban yang diharapkan oleh temannya tapi cukup rasanya untuk menolak ajakan mereka. Meski kadang mereka tidak terima dan memukulinya. Yang ada dalam pikirannnya hanya satu. Ia tak mau terlihat sakit. Cukup aku dan keluarganya yang tau.
     Meski begitu ia bukanlah laki-laki yang sekuat baja. Ia kerap putus asa dan hampir-hampir memutus nadinya dengan pisau cutter. Tapi tak jadi. Lalu ia menyeberang jalan dan berhenti lama di tengah jalan sampai lampu menyala hijau. Tapi tak ada satu kendaraanpun yang menabraknya. Dan akhirnya ia tak jadi mati juga. Mungkin Tuhan tak menghendaki ia mati dengan cara seperti itu.
     Sampai suatu saat hal yang tak penah ia duga-duga terjadi. Sore itu ia merasa begitu jenuh. Ingin rasanya ia pergi keluar rumah, tapi saat itu dadanya terasa begitu sakit dan batuknya mulai menggigil. Lalu untuk kesekian kalinya ia memuntahkan cairan merah itu dan mengotori kamarnya. Dengan tergesa-gesa kemudian ia mengambil kain dan membersihkan lantainya. Sebelum ada yang datang dan melihat ada darah disana. Bau amis tecium di segala sudut kamar. Tapi biarlah orang tuaya takkan mengunjugi kamarnya hari ini.
Rumah neraka rumah jahanam yang harus ia tempati sebelum ia menempati neraka yang sebenarnya.
     Triit….triit…triit…tiga kali ponselnya berbunyi. Lantas ia bergegas mengambil kunci motornya lalu melaju ke suatu tempat. Ia tak lagi mempedulikan rasa sakit yang menderanya. Hingga beberapa kali motorya hampir jatuh tak terkendali. Entah apa yang terjadi dan siapa yang menelpon. Yang ku tahu dia berkata aku bukan pengecut .
     Ia berhenti di sebuah bangunan tua bekas sekolah dasar. Masih ada identitas sekolah disana.  Dan ada patung garuda besar yang masih berdiri mencengkeram pita di atas tulisan pahat. Entah tulisan apa itu ia tak memperhatikan lebih. Ia berjalan menuju bangunan tua itu, tiap langkahnya disambut mesra oleh sapuan ilalang liar dikakinya. Sejenak dipandangya setiap penjuru. Tak ada seorangpun disana.
     “ anjrit! Mana mereka!”, umpatnya sambil meludah.
     Hendak ia pergi, tapi ketika ia akan menstarter motornya…. Plokk! Plokk! Plokk! Suara tepukan tangan dari belakangnya.
     “temen kita udah dateng nih!” kata salah seorang dari mereka
     “hahahaha” yang lain tertawa. Lalu muncullah tiga orang dari dalam bangunan itu. Yang satu di depan, badannya tinggi besar, brewok, matanya besar dan badannya penuh dengan tato. Di tangannya ada gelang hitam dan memakai kalung rantai. Dua orang dibelakangnya, yang satu kekar, yang satu sedikit kurus. Mereka semua memakai celana yang robek di bagian lutut dan paha. Cahyo tau betul siapa mereka. Mereka Yudi, Gogon, dan Bery temannya dulu waktu ia masih sering mabuk-mabukan.
     “ apa mau kalian!” tanya Cahyo sambil mengepalkan tangannya. Mungkin marah, mungkin menahan rasa sakit di dadanya.
     “ santai aja sob, kita cuma mau ngajak loe seneng-seneng” sahut salah satu dari mereka sambil tertawa keras. Lalu mengajak Cahyo masuk.
     Entah apa yang terjadi kemudian, yang ia ingat ia dicekoki minuman terlaknat itu lagi. Banyak sekali. Sampai isi perut dan dadanya serasa terbakar dan….entahlah, ia tak ingat lagi
     Kini telah seminggu ia terbaring di rumah sakit. Tak jua ia membuka mata. Begitu rapat terpejam, tapi sesekali ada air yang menetes dari sudut matanya. Mungkin hatinya sedang bersedih, karena ia yakin, dalam keadaan sekaratpun orang tuanya tak kan peduli. Bapaknya tak mungkin sudi menjenguknya, ibunya tak kan ada waktu, sedangkan kakaknya mungkin telah lupa bahwa ia punya adik.
     Kuperhatikan layar monitor di samping ranjang. Garisnya masih naik turun, berliku-liku. Ahh jangan berhenti sampai disini Cahyo, lekaslah sadar. Ubah hidupmu yang tak enak jadi enak. Ayo Cahyo!
     Ia masih diam saja, agaknya yang lebih ia butuhkan adalah kata-kata dari bapaknya. Bapak yang begitu mengutuk keberadaannya. Hingga hidup satu rumah, berhadapan tapi seperti berada di dimensi lain.
    Berhari-hari sudah ia tergeletak di sana. Dengan segala perabot rumah sakit yang menempel di tubuhnya. Perlahan ia mulai menggerakkan jemarinya. Terasa ada sesuatu yang tersangkut di tangannya. Secarik kertas. Cepat sembuh ya le…bapak sayang kamu. Lalu ia tersenyum. Kubalas dengan senyum. Lalu ia kembali tersenyum dan terus tersenyum. Hingga akhirnya pudar perlahan. Lalu ia tertidur lagi pelan-pelan.    Ya, tidurlah, hatimu terlalu lelah.

Ku Kutuk Pergimu


Aku tak tau apa yang kucari dalam resah
Menari menyeruti jemari pagi yang hendak membelaiku dengan  sahaja
Kemana larinya mentari
Yang kucari pagi ini

Aku sendiri
Berkalung rantaian bunga kemarin hari
Yang masih bertandang dalam mimpi sepi
Lalu mati

Kemana angin terdampar
Laut samuderaku yang diam
Lalu aku kembali pada janji ribuan masa silam
Kau tak cukup tuli untuk mendengarku?

Ohhhh
Mungkin peristirahatanmu terlalu dingin hingga gendang telingamu beku
Sedingin kau ketika pergi kemarin
Tanpa pamit

Atau bidadari telah meliuk liuk di hadapanmu?

Aku menggutuk kepergianmu
Mengutuk peristirahatanmu
Mengutuk ingatan masa laluku
Aku mengutuk kematianmu